DISKUSI TENTANG KONSEP DAN TEORI REKOGNISI DAN SUBSIDIARITAS DENGAN PARA PENDAMPING DESA
Kamis, 6 Oktober 2022 mulai pukul 19.30 sampai dengan 20.00 saya diajak diskusi dengan komunitas Pendamping Desa Seluruh Indonesia tentang rekognisi dan subsidiaritas dan peran pendamping untuk memberdayakan masyarakat desa.
Saya jelaskan begini.
Rekognisi dalam bahasa Belanda disebut erkenning. Teori dan praktik erkeningg adalah pemerintah pusat mengakui keberadaan komunitas (gemeenschap) yang sudah ada beserta urusan-urusan komunitas yang sudah diatur dan diurus sendiri. Komunitas ini lalu diakui (erkened) sebagai bagian dari badan hukum publik local. Dalam bahasa Penjelasan UUD 1945 Pasal 18 barang ini disebut locale rechtsgemeenschap. Terjemahan bebasnya adalah badan hukum komunitas lokal.
Konsep dan teori erkenning/rekognisi pertama kali diimplementasikan pada awal abad ke-20. Pada akhir abad ke-19 muncul komunitas (gemeenschap) Belanda-Eropa di kota-kota besar dan kecil yang mengatur dirinya sendiri. Mereka tidak mau diperintah pejabat pribumi. Juga tidak mau diperintah secara sentralistis, Mereka membentuk “pemerintahan” komunitas sendiri. Mereka lalu menuntut kepada penguasa di Belanda sana untuk diakui menjadi badan hukum sebagai bagian dari badan hukum publik (publiek rechtspersoon). Tuntutan mereka dipenuhi. Melalui amandemen pasal 68 RR 1854, gemeenschap2 Belanda-Eropa di kota-kota diakui (erkened) menjadi rechtsgemeenschap sebagai bagian dari badan hukum publik (publiek rechtspersoon). Rechtsgemeenschap ini lalu diintegrasikan ke dalam sistem pemerintahan formal negara Hindia Belanda dalam pemerintahan lokal (locale bestuur) yang otonom (zelfstandige).
Komunitas yang besar menjadi badan hukum masyarakat gewest pada gewestelijke ressort, Yang sedang menjadi badan hukum masyarakat plaatselijke pada plaatselijke ressort. Yang kecil menjadi badan hukum masyarakat gemeente pada gemeente (batavia, meester cornelis, buitenzorg, dll). Yang kecil di luar Jawa menjadi badan hukum masyarakat groupsgemeenschap pada groupsgemeenschap (minangkabau, palembang, banjar). Pengakuan pemerintah kepada komunitas itu termasuk urusan-urusan komunitas yang sudah diatur dan diurus sendiri itu. Urusan-urusan ini lalu menjadi urusan pemerintahan asli, dalam arti bukan urusan pemerintahan yang berasal dari penyerahan dari pusat menggunakan teori desentralisasi.
Dalam teori dan praktik, asas erkenning ini diusulkan dari bawah (komunitas yang diakui itu). Bukan dari atas (Pusat). Dalam UU No. 6/2014 erkenning/rekognisi tiba-tiba dibuat oleh Menteri Desa dan Mendagri. Berarti dari atas. Maka materinya tidak karu-karuan, yang tidak ada di desa. Mengapa bisa begitu? Karena Mendes dan Mendagri tidak tahu apa-apa yang terjadi di desa. Hanya ngarang2 saja. Atau dengar2 dan katanya katanya.
Subsidiaritas aslinya ajaran gereja katolik Roma. Pengertian singkatnya adalah jika urusan pelayanan kepada jamaah gereja itu bisa diurus family ya family saja. Jika bisa di paroki ya paroki saja. Jika bisa di keuskupan ya keuskupan saja. Jangan semua diurus oleh vatikan/pusat.
Ajaran gereja itu lalu diadopsi oleh disiplin local government. Jika urusan pemerintahan bisa diurus di desa ya desa saja. Jika bisa di kabupaten ya kabupaten saja. Jika bisa di provinsi ya provinsi saja. Jangan semua diatur dan ditentukan pusat.
Masalanya UU No. 6/2014 tidak menyerahkan urusan pemerintahan apapun kepada desa. Urusan pemerintahan sudah dibagi habis di provinsi dan kabupaten/kota. Desa tidak kebagian urusan pemerintahan apapun. Tapi yang aneh, Permendes dan Permendagri mengatur subsidiaritas yang materinya melampui urusan pemerintahan milik provinsi dan kabupaten/kota.
Mengenai pendamping asal usulnya adalah praktik yang dilakukan oleh NGO/LSM. Ia adalah pendamping progam sebagai salah satu bagian dari tata kerja NGO/LSM dalam menjalankan program. Untuk menjalankan programnya NGO/LSM membentuk Pokmas (kelompok masyarakat). Pokmas yang dibentuk itu asumsinya tidak tahu apa-apa tentang program ini. Untuk itu perlu didampingi Pendamping agar penerima manfaat dari program ini betul-betul bisa sesuai dengan tujuannya.
Jadi, pendamping adalah orang yang tahu program, tujuan, manfaat, dan cara melaksanakannya.
Praktik baik itu diadopsi oleh UU Desa. Pendamping desa mendampingi pemerintah desa (kepala desa dan perangkat desa). Lah masalah muncul karena kepala desa dan perangkat desa sudah tahu menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat desa. Juga sudah berpengalaman menyusun RPJM, RKDES, APBDES, LPJ, LKPJ, dan lain-lain. Kasus di lapangan pendamping malah diajari kepala desa dan perangkat desa.
Pendamping desa juga mendampingi BPD. Lah kalau yang ini relevan karena ketua, sekretaris, dan anggota BPD masih belajar bagaimana cara menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat desa, tidak tahu membuat legal drafting Perdes, dan masih belajar bagaimana cara melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa.
Untuk itu, pendamping desa:
- Harus lebih tahu dari kepala desa dan perangkat desa tentang menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat desa; harus lebih tahu dari kepala desa dan perangkat desa menyusun RPJM, RKDES, APBDES, LPJ, LKPJ, dan lain-lain.
- Harus lebih tahu dari ketua, sekretaris, dan anggota BPD dalam membuat legal drafting perdes dan tata cara melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa.
Sumber berita : Prof. Dr. Hanif Nurcholis, M.Si (Ketua Senat Universitas Terbuka Jakarta)
Post a Comment
Post a Comment